Dari Akreditasi Adiministratif ke Substantif

May 17, 2024.
- by Redaksi

BAN-PDM, YOGYAKARTA – Dalam salah satu sesi diskusi dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) I BAN-PDM tahun 2024 yang digelar di Hotel Alana Yogyakarta, DIY, Ketua Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (BAN-PDM) Totok Suprayitno, Ph.D. menyampaikan kebijakan dan peran BAN-PDM dalam mengawal transformasi pendidikan, Sabtu (24/2/2024).

 

Dalam kesempatan itu, Totok mengatakan, sekolah pada umumnya belum memenuhi harapan untuk menciptakan generasi yang mandiri. Kehadiran lembaga-lembaga pendidikan alternatif, kata dia, merupakan bentuk protes terhadap sistem pendidikan yang kaku dan administratif yang membuat sekolah bukan menjadi pusat pendidikan, melainkan hanya mengurusi persoalan administrasi, borang laporan, RPP, gedung, dan lain-lain.

 

“Semua syarat akreditasi pada masa lalu, seperti administrasi kelengkapan gedung. Akreditasi masa lalu itu akreditasi nama-nama. Padahal, orang tua tidak butuh guru rajin membuat PTK, RPP, dll. Orang tua nggak butuh gurunya rajin PMM atau tidak. Orang tua butuh bisakah guru mendampingi anaknya belajar?” ungkap Totok.

 

Sebab itu, akreditasi tidak boleh terbelenggu dalam kegiatan administrasi saja. Kita perlu bergerak dari belenggu administrasi ke arah yang lebih substantif. “BAN-PDM sekarang meneruskan perjuangan kawan-kawan itu dengan merancang instrumen baru, yang fokus pada hal esensial, yaitu tentang bagaimana membangun iklim positif di sekolah,” katanya.

 

Totok juga mengingatkan agar guru senantiasa melakukan refleksi dan belajar dari refleksi, sehingga learning circle berjalan dan meningkat. Keberadaan komunitas belajar juga dapat memberikan dampak positif. “Iklim sekolah positif adalah hal yang penting buat anak-anak. Kemudian, kepemimpinan dalam pengelolaan sekolah juga memegang peran. Intinya simpel tidak njelimet dengan administrasi,” tegasnya.

 

Sejumlah alasan penting disampaikan mengenai akreditasi memfasilitasi transformasi pendidikan. Pertama, kata dia, akreditasi sebagai akuntabilitas. “Kita harus berani bertanggung jawab kepada publik. Maka, publik wajib mengetahui ini karena ini merupakan layanan publik,” kata dia.

 

Kemudian, menetapkan akreditasi sebagai suatu hal yang wajib. Hal ini didasari pada fungsi akreditasi sebagai penjaminan mutu, di mana hal ini ditopang oleh kinerja. “Kita punya peran untuk memberikan kemajuan. Bila dinilainya tertib administrasi, ya sekolah hanya fokus tertib administrasinya. Tetapi bila ditagihnya kinerja, yang akan ditingkatkan adalah kinerjanya,” ungkapnya.

 

Selain itu, Totok juga menjelaskan bahwa rekomendasi harus menjadi cahaya penuntun, bukan menjadi marka jalan atau petunjuk yang tunggal yang belum tentu memberikan arah. Bahkan, bisa jadi rekomendasinya menjadi belenggu. “Kemudian mendorong sekolah untuk kreatif dan mencari solusi meningkatkan mutu pendidikan. Memberikan cahaya penerang kepada sekolah untuk memberikan solusi atas persoalan,” ujarnya. 

 

Dia menegaskan, peran BAN-PDM harus mendorong sekolah untuk bisa mencari solusi sendiri. “Kuncinya instrumen simpel, pemahamannya jangan tekstual, tetapi kontekstual mendalam. Sehingga, common sense kita apa yang kurang baik di sekolah itu didalami. Konteks dan kreativitas sekolah tidak dimatikan. Dorong sekolah mencari solusi sendiri,” katanya.

 

Dia menjelaskan, dengan akuntabilitas publik akreditasi, yang kita pahami adalah esensinya. Kita temukan esensi yang baik dari sekolah ini. Sebaik apa pun instrumennya, gagasannya, asesornya jika tidak ada integritas semuanya sia-sia, jangan dibiasakan. Bagaimana pembinaan setelah akreditasi itu dilakukan lima tahun sebelumnya, bukan setahun atau sebulan sebelumnya.

 

“BAN-PDM tidak berperan sebagai pemberi stempel status akreditasi. Tugas BAN-PDM memastikan sekolah berani berbuat berani bertanggung jawab. Tugas BAN-PDM memberi cahaya penerang untuk menjadi pusat belajar anak,” tegasnya. (redaksi)