Oleh Biyanto*
Di antara janji manis yang dikemukakan calon kepala daerah selama masa kampanye dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 ada mewujudkan pendidikan gratis. Sejumlah calon kepala daerah bahkan berani menjanjikan pendidikan untuk negeri dan swasta.
Janji serupa juga acap kali dikemukakan calon presiden dan calon anggota legislatif yang running dalam setiap pemilihan umum. Janji pendidikan gratis itu setidaknya untuk tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK.
Pertanyaannya, bagaimana calon kepala daerah itu merealisasikan janji politiknya? Apalagi sebagian yang pernah berjanji itu sudah ditetapkan sebagai pemenang dalam pilkada serentak pada 27 November 2024 lalu.
Jawabnya, berdasarkan pengalaman dari pilkada ke pilkada ternyata tidak mudah merealisasikan janji politik pendidikan gratis-tis. Apalagi sejak kebijakan alih kelola SMA dan SMK dari kabupaten/kota ke provinsi yang mulai dilaksanakan pada Januari 2016. Persoalan donasi orangtua untuk pendidikan buah hati mereka terus menjadi selalu isu krusial.
Apalagi realitasnya biaya pendidikan, terutama tingkat SMA dan SMK, semakin tinggi. Hal itu terjadi karena anggaran pemerintah provinsi (pemprov) benar-benar tidak mampu membiayai secara penuh operasional SMA dan SMK.
Sementara itu, pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot) memahami bahwa penyelenggaraan pendidikan tingkat SMA dan SMK telah menjadi tanggung jawab pemprov seiring dengan penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
_________
Fenomena mahalnya biaya pendidikan jelas bertentangan dengan kampanye pendidikan gratis-tis yang selalu digelorakan elite politik dan calon kepala daerah.
Pertanyaannya, kapan pendidikan gratis-tis terwujud sehingga orang tua terbebas dari pungutan? Jika pertanyaan itu diajukan kepada penyelenggara pendidikan negeri dan swasta, jawabannya relatif sama, yakni pendidikan gratis hanya terucap dalam janji dan tidak pernah terwujud dalam kenyataan.
Jawaban pengelola pendidikan itu semakin menegaskan bahwa dalam kenyataannya setiap lembaga pendidikan membutuhkan donasi stakeholder. Bahkan untuk pendidikan swasta, donasi stakeholder menjadi yang terutama karena tidak banyak memperoleh bantuan pemerintah.
Persoalan lebih berat akan dialami sekolah berkategori kecil dengan jumlah siswa sedikit. Untuk sekolah negeri, donasi pendidikan menjadi masalah sensitif. Hal itu disebabkan masyarakat memahami kebutuhan operasional sekolah negeri telah dicukupi pemerintah.
Perdebatan mengenai donasi pendidikan bisa jadi cermin kebingungan pejabat publik mulai pusat hingga daerah. Mereka bingung karena faktanya biaya pendidikan terus meningkat. Bahkan, sering terjadi komersialisasi pendidikan tingkat dasar dan menengah. Padahal, sesuai dengan amanah konstitusi pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Dalam kondisi tertekan karena belum mampu merealisasikan amanah konstitusi dan janji-janji politik itulah pemerintah membuat kebijakan melarang penarikan donasi pendidikan.
Kebijakan itu direspons sekolah dengan cara berbeda-beda. Sebagian sekolah menyatakan larangan penarikan donasi pendidikan pasti akan mengakibatkan program peningkatan mutu terganggu. Bahkan ada sekolah yang mengancam untuk meniadakan kegiatan ekstrakurikuler. Padahal, kegiatan ekstrakurikuler penting untuk menyemai nilai-nilai karakter pada peserta didik. Melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler, anak-anak juga dapat menunjukkan talenta sesuai dengan minat dan bakat mereka.
Pada sisi lain, ancaman untuk mengurangi kegiatan peningkatan mutu dan ekstrakurikuler akibat peraturan tentang donasi pendidikan menunjukkan tiadanya kreativitas sekolah. Fakta itu terutama terjadi di sekolah negeri karena selalu mengandalkan pendanaan dari pemerintah. Seakan tidak terlintas dalam pikiran pimpinan sekolah berpelat merah itu bahwa masih banyak kelompok masyarakat yang ingin membantu pengembangan mutu pendidikan. Yang penting, perencanaan sekolah harus dibicarakan secara transparan bersama stakeholder.
________
Posisi stakeholder perlu menjadi perhatian karena pada masa mendatang, sekolah tidak boleh hanya mengandalkan donasi pemerintah. Justru yang lebih penting ialah donasi stakeholder. Karena itulah, penting menjaga persepsi stakeholder pada penjaminan mutu sekolah.
Layanan mutu pendidikan yang terbaik bagi stakeholder adalah segalanya. Orang tua dan siswa harus diposisikan layaknya pelanggan (customer) sekolah. Pola pikir itu penting karena jika sekolah telah dipersepsi tidak bermutu, pasti akan ditinggalkan stakeholder.
Dalam situasi pendidikan yang semakin kompetitif, sesungguhnya banyak orang tua yang tidak peduli dengan besarnya biaya pendidikan. Syaratnya, anak-anak memperoleh pelayanan terbaik. Hal itu dibuktikan dengan eksistensi sekolah swasta berkategori besar sekaligus unggulan. Sekolah kategori itu tidak pernah sepi peminat meski menarik donasi pendidikan mahal. Bahkan, ada sebagian orang tua yang berpikiran bahwa sekolah yang menetapkan biaya murah, bahkan gratisan, dianggap kurang bermutu.
Sebaliknya, pendidikan dengan biaya mahal dipersepsi berkualitas karena pasti dikelola secara profesional. Pola pikir sebagian masyarakat atau orang tua tersebut merupakan peluang bagi pimpinan lembaga pendidikan untuk memobilisasi sumber daya stakeholder.
Pada konteks itulah lembaga semacam board of education seperti komite sekolah, ikatan wali murid, pegiat pendidikan, organisasi kemasyarakatan, tokoh-tokoh informal, serta dunia usaha dan dunia industri (DUDI) penting diajak bertegur sapa untuk memajukan pendidikan.
*Guru Besar UIN Sunan Ampel, Anggota Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (BAN-PDM)
Sumber: Media Indonesia edisi 19 Desember 2024