Oleh Biyanto*
Latar belakang sosial pelaku korupsi di negeri ini semakin beragam. Pelaku korupsi bisa datang dari kalangan manapun. Yang menyedihkan, sebagian besar pelakunya adalah kelompok terpelajar. Sumber di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginformasikan bahwa 86 persen pelaku korupsi merupakan alumni perguruan tinggi (PT). Sebagian dari mereka bergelar sarjana, magister, doktor, dan bahkan guru besar.
Realitas itu jelas merupakan ironi bagi dunia pendidikan. Lembaga pendidikan yang seharusnya menghasilkan para pejuang antikorupsi justru “menernak” koruptor. Istilah “menernak koruptor” pernah dipopulerkan Mahfud MD tatkala masih menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Dalam berbagai kesempatan, Mahfud MD menyatakan bahwa dunia pendidikan banyak menernak koruptor.
Pertanyaannya, mengapa kaum terpelajar banyak terseret dalam pusaran kasus korupsi? Padahal, mereka termasuk kelompok berilmu pengetahuan.
Jawabnya, sangat mungkin karena mereka terlampau jauh bersinggungan dengan politik dan kekuasaan. Apalagi mereka sering kali tampak gagap tatkala harus berurusan dengan budaya birokrasi yang koruptif.
Baca juga: Rakornas BAN-PDM 2024 dan Sekolah yang Tertinggal
Pada konteks itulah, Julien Benda dalam The Betrayal of the Intellectuals (1980), berpesan agar kaum cendekiawan berhati-hati jika bersinggungan dengan politik dan kekuasaan. Pesan ini penting agar kaum terpelajar tidak terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
________
Kaum intelektual tidak boleh hanya mengandalkan ilmu pengetahuan tatkala bersinggungan dengan politik dan kekuasaan.
Modal yang sangat penting dimiliki siapa pun dan dalam posisi apa pun adalah moral atau akhlak. Persoalan akhlak penting karena berkaitan dengan integritas seseorang. Pada konteks itulah Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) pernah menyatakan bahwa perspektif moral dapat digunakan untuk menilai apakah mereka yang terdidik telah berkhianat, tertipu, terlena, atau tidak paham dengan medan pergaulan sehingga salah jalan. Merujuk pada pernyataan Buya Syafii, maka publik dapat menilai integritas mereka yang terpelajar, tetapi tersandung kasus korupsi
Pertanyaannya, apakah mereka sekadar khilaf ataukah benar-benar terlena dengan godaan politik dan kekuasaan. Dampaknya, mereka terjerumus dalam budaya birokrasi dan politik kekuasaan yang koruptif. Padahal, dengan ilmu yang dimiliki, civitas akademikus kampus seharusnya tampil sebagai pahlawan antikorupsi.
Baca juga: Tiga Pesan Mendikdasmen RI untuk Akreditasi yang Lebih Bermakna
Nilai-nilai moral yang diinternalisasi melalui proses belajar mengajar dan budaya di kampus seharusnya sangat cukup menjadi bekal menjadi insan berintegritas. Nilai-nilai integritas itu penting dibawa alumni perguruan tinggi tatkala berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Termasuk ketika alumni kampus itu menjadi abdi negara, baik sebagai pegawai atau pimpinan di instansi pemerintahan.
Semangat dan pekik antikorupsi tidak cukup hanya dikobarkan tatkala mereka sedang berada di luar kekuasaan. Nilai- nilai integritas penting dirawat, terutama tatkala civitas akademikus memperoleh amanah sebagai pejabat publik. Seakan menyadari bahwa ada begitu banyak kalangan terpelajar yang terlibat kasus korupsi, maka di berbagai perguruan tinggi dikembangkan kurikulum pendidikan antikorupsi.
Berdasarkan pengalaman beberapa lemabaga pendidikan mulai level dasar dan menengah hingga perguruan tinggi, kurikulum pendidikan antikorupsi ini didesain dengan cara yang beragam. Ada yang menjadikan materi ajar tersendiri. Ada juga yang menyisipkan (inserting) materi pendidikan antikorupsi ke beberapa mata pelajaran/mata kuliah relevan. Pengembangan materi pendidikan antikorupsi bertujuan untuk menjadikan kalangan terdidik sebagai insan berintegritas.
_______
Agar berdampak lebih masif, kurikulum pendidikan antikorupsi tidak hanya dikembangkan di level pendidikan tinggi. Materi pendidikan antikorupsi juga dikembangkan untuk pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dengan mengenalkan pendidikan antikorupsi sejak dini, maka diharapkan budaya berperilaku jujur tertanam dalam diri kalangan terdidik. Dengan demikian, pelibatan lembaga pendidikan untuk mendorong munculnya pahlawan antikorupsi menjadi sebuah keniscayaan.
Paling tidak ada dua alasan yang mengharuskan lembaga pendidikan terlibat dalam gerakan antikorupsi. Pertama, lembaga pendidikan memiliki sumber daya dengan seperangkat pengetahuan (knowledge) yang sangat memadai. Kedua, lembaga pendidikan memiliki jaringan (networking) yang kuat dan tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Jika dua modal ini dimaksimalkan, maka akan muncul gerakan pemberantasan korupsi yang masif.
Bangsa ini jelas banyak berharap pada dunia pendidikan. Bukankah mereka yang sedang belajar di bangku sekolah dan kuliah merupakan calon pemimpin negeri? Jika kini kalangan terpelajar sudah banyak yang belepotan dengan noda korupsi, maka kepada siapa lagi bangsa ini berharap?
Pertanyaan ini layak direnungkan. Sebab, para pejuang dan pendiri bangsa yang telah gugur jelas tidak ingin melihat generasi penerusnya terpeleset berulang kali dalam pusaran kasus korupsi dengan berbagai bentuknya.
Karena itulah tidak ada pilihan lain, kalangan terdidik harus meneruskan perjuangan para pendiri bangsa. Para pahlawan dan pendiri yang telah gugur pasti tidak menuntut kita mengangkat senjata dengan mempertaruhkan nyawa. Yang diminta dari generasi bangsa saat ini hanya terus berjuang untuk melawan korupsi dan antek-anteknya. Bebaskan negeri ini dari kasus korupsi.
Jika tidak, maka budaya korupsi akan terus menggerogoti pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga lembaga pendidikan di negeri ini tidak lagi “menernak” koruptor, melainkan melahirkan sebanyak mungkin pegiat gerakan antikorupsi.
Dengan begitu, lembaga pendidikan di semua tingkatan harus berkontribusi untuk melahirkan insan berintegritas, yakni pribadi-pribadi yang mampu merawat kata dan menjaga satunya kata dengan perbuatan. Karakter berintegritas ini penting dimiliki siapa pun yang pernah berada di dunia pendidikan.
*Guru Besar UIN Sunan Ampel, Anggota Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (BAN-PDM)
Sumber: Harian Republika edisi 18 Desember 2024.