Oleh: Biyanto*
Banyak pihak menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sudah terlampau tua, dan karena itu wajib diubah untuk disesuaikan dengan tantangan yang ada. Untuk itulah salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tahun ini ialah menuntaskan pembahasan RUU Sisdiknas yang baru bersama DPR RI.
Dalam pertemuan awal bersama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) serta Kementerian Agama (Kemenag) disepakati bahwa Kemendikdasmen merupakan komandan pembahasan RUU Sisdiknas. Pertemuan awal juga menjadi ajang bertukar pikiran antarkementerian. Persoalan substantif dan nonsubstantif dari UU Sisdiknas menjadi catatan peserta rapat.
UU Sisdiknas yang baru juga diharapkan dapat mengintegrasikan sejumlah UU tentang pendidikan yang sudah ada. Di antaranya ialah UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di Kemenag juga ada UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Semua UU yang mengatur pendidikan itu penting menjadi referensi utama dalam pembahasan RUU Sisdiknas.
Meski akan ada beberapa perubahan mendasar dari UU Sisdiknas 2003, tentu masih banyak hal yang substansinya relevan. Salah satunya rumusan soal definisi pendidikan. Dalam UU Sisdiknas ditegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan.
Pengertian tersebut memberikan gambaran, betapa pendidikan harus berorientasi pada pengembangan potensi anak. Hal itu berarti tugas pendidik atau guru ialah memfasilitasi anak agar mengenali potensi dirinya. Akan tetapi, jujur harus dikui, tugas mendampingi anak agar mengenali kekuatan dan kelemahan diri sering dilupakan pendidik. Bahkan, orang tua juga terkadang abai dengan potensi buah hatinya sendiri.
Padahal, dengan mengenali potensi diri anak, orang tua dan pendidik dapat bersinergi untuk mengembangan potensi tersebut agar anak sukses menghadapi tantangan masa depannya. Orang tua dan pendidik penting meyakini bahwa setiap anak pasti memiliki potensi istimewa yang telah dianugerahkan Allah SWT. Karena itu, tidak boleh ada kategori anak ‘bodoh’ atau ‘nakal’ dalam dunia pendidikan, sebab setiap anak pasti memiliki kecerdasan yang unik dan bervariatif.
Pada konteks itulah orang tua, pendidik, dan peserta didik harus berkomunikasi secara timbal balik agar menemukan potensi diri yang akan dikembangkan melalui pendidikan. Yang penting diingat, dalam dunia pendidikan potensi diri tidak harus bersifat akademik, melainkan juga nonakademik. Rasanya sudah saatnya semua stakeholder pendidikan (pemerintah, keluarga, sekolah, dan berbagai kelompok masyarakat) memberikan penghargaan yang lebih proporsional terhadap prestasi akademik dan non-akademik.
Kita harus menyadari bahwa capaian akademik dan non-akademik sama-sama dibutuhkan. Anak yang bertalenta hebat di bidang akademik berpeluang besar menjadi ilmuwan, dan peraih Hadiah Nobel di bidang sains, matematika, dan fisika. Adapun anak-anak yang berprestasi non-akademik semestinya tidak dipandang sebelah mata. Sebab, anak-anak yang memiliki keunggulan non-akademik juga berpeluang menjadi orang sukses di bidangnya, misalnya menjadi pekerja sosial, atlet, pegiat seni-budaya, dan entrepreneur.
Untuk melahirkan anak-anak bertalenta hebat menjadi pekerja sosial, olahragawan, seniman, budayawan, dan entrepreneur andal jelas memerlukan dukungan. Salah satu alternatif yang harus ditempuh ialah mengembangkan sekolah unggul di bidang pekerja sosial, olahraga, seni budaya, dan entrepreneur. Persoalannya, terkadang minat masyarakat terhadap sekolah jenis ini masih langka. Karena itulah, diperlukan sosialisasi yang lebih intensif sehingga dapat mendongkrak minat masyarakat.
_________
Pemerintah bersama stakeholder pendidikan juga harus mengambil peran untuk membantu sekolah yang melahirkan pekerja sosial, atlet, pegiat seni-budaya, dan entrepreneur.
Bahkan, jumlah lembaga pendidikan yang mencetak calon entrepreneur harus diperbanyak. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa jumlah kelompok entrepreneur di negara ini masih tergolong kecil, belum menembus angka 2%. Pada konteks inilah keinginan mewujudkan pendidikan holistik (holistic education) penting direalisasikan.
Pendidikan holistik dapat dipahami sebagai pendidikan yang menggabungkan semua potensi manusia; intelektual, emosional, spiritual, sosial, kultural, dan fisikal. Mengutip pendapat Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan daya upaya untuk mengembangkan budi pekerti (kekuatan batin, hati), pikiran (otak, intellect), dan tubuh anak (raga). Bagian-bagian tersebut, menurut Ki Hadjar, tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak.
Pikiran Ki Hadjar terasa sangat relevan dengan tantangan dunia pendidikan yang kini sedang terjadi. Pendidikan nasional sedang menghadapi berbagai insiden, seperti kekerasan, bullying, intoleransi, narkoba, perdagangan manusia (human trafficking), ketidakjujuran saat ujian, dan korupsi. Semua itu menjadikan lulusan pendidikan nasional dinilai kurang berkarakter. Pada konteks itulah seluruh stakeholders pendidikan harus bersinergi untuk mewujudkan pendidikan holistik.
________
Melalui pendidikan holistik, kita berharap akan terwujud pendidikan manusia seutuhnya (human wholness). Pendidikan holistik juga memberikan penghargaan yang sama tingginya terhadap prestasi akademik dan non-akademik peserta didik.
Semoga Kemendikdasmen, Kemendiktisaintek, Kemenag, DPR, dan seluruh elemen bangsa dapat mewujudkan pendidikan holistik di negeri tercinta melalui UU Sisdiknas yang baru. Pendidikan holistik diharapkan akan melayani semua potensi anak-anak bangsa. Penting diingat, semua anak adalah mutiara!
*Anggota BAN-PDM 2023-2025
Sumber: Media Indonesia edisi 21 Januari 2025