
Akreditasi (PAUD) Bukan Sekadar Angka
14 Juli 2025
Redaksi
BAN-PDM - Oleh: Fatkhuri*
Akreditasi, tidak terkecuali untuk jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sering kali dipersepsi hanya sebatas urusan administrasi atau tumpukan dokumen. Banyak orang membayangkan asesor datang membawa daftar ceklis, memeriksa sudut ruang kelas, lalu memberi skor. Pandangan ini tidak keliru. Karena sejak lama kita memang menerapkan akreditasi dengan pendekatan berbasis compliance. Namun, ini tentu tradisi lama—yang dalam banyak studi terbukti gagal menempatkan akreditasi sebagai episentrum perwujudan mutu layanan pendidikan. Jika kita mau jeli, di balik setiap instrumen akreditasi, dalam konteks ini adalah jenjang PAUD, berdiri kokoh fondasi teori perkembangan anak yang memandang anak sebagai manusia kecil yang utuh — unik, penuh rasa ingin tahu, dan sarat potensi.
Oleh karena itu, akreditasi PAUD sejatinya bukan hanya soal memeriksa “apa yang ada,” tetapi tentang memahami makna di balik praktik pendidikan yang terjadi setiap hari di sekolah. Instrumen Penilaian Visitasi (IPV) PAUD, misalnya, tidak lahir dari ruang hampa (not born in a vacuum). Ia dibangun di atas teori-teori psikologi dan pendidikan yang sudah teruji. Ada Maslow dengan piramida kebutuhannya, yang mengingatkan bahwa anak tidak bisa belajar jika rasa aman dan kasih sayangnya belum terpenuhi.
Ada Piaget, yang mengajarkan bahwa anak belajar bukan dengan cara dijejali pengetahuan, melainkan melalui eksplorasi, mencoba, dan berefleksi. Ada pula Vygotsky, yang menekankan pentingnya interaksi sosial — anak butuh orang dewasa yang membimbing, lalu perlahan melepaskan bantuan agar si kecil tumbuh mandiri. Tak kalah penting, teori Kolb mengingatkan bahwa belajar adalah perjalanan: anak mengalami sesuatu, merenungkannya, merumuskan pemahaman baru, lalu mencoba lagi. Itulah mengapa PAUD idealnya penuh warna, banyak aktivitas konkret, bukan sekadar mendengarkan guru bicara.
Namun, bagaimana semua teori yang amat keren ini diterjemahkan dalam akreditasi? Di sinilah letak tantangan besar. Sebab akreditasi PAUD, sebagaimana menjadi fokus instrumen, harus berbasis pencarian makna, bukan hanya bukti. Seorang asesor tidak cukup hanya mencatat “ada dokumen” atau “ada video atau foto kegiatan.” Mereka harus bertanya: Apakah praktik itu benar-benar berjalan? Apakah anak-anak sungguh terlibat aktif? Apakah guru mengajar dengan cara yang sejalan dengan tahap perkembangan anak?
Dari uraian ini, tugas asesor PAUD jelas tidak ringan. Mereka harus benar-benar menguasai fondasi atas konstruksi teori-teori perkembangan anak agar bisa membaca setiap praktik pendidikan dengan sudut pandang yang tepat. Tak cukup hanya paham istilah teknis, seorang asesor juga harus memiliki “ketajaman intuisi” — kepekaan untuk menangkap hal-hal yang tak selalu tampak di permukaan, namun sangat menentukan mutu pendidikan. Misalnya, suasana batin anak di kelas, rasa nyaman atau justru rasa takut yang bisa saja membungkam keingintahuan mereka.
Lebih dari itu, seorang asesor harus memahami berbagai teori pendidikan dan perkembangan anak dan menjadikannya pisau analisis dalam membaca setiap fenomena yang muncul di satuan pendidikan. Teori-teori itu bukan hanya sekadar wawasan yang selesai di Tingkat hafalan, melainkan menjadi lensa untuk menilai apakah sebuah praktik mendukung tumbuh kembang anak atau justru sekadar formalitas. Asesmen yang dilakukan asesor — meskipun secara teknis mengacu pada butir dan indikator dalam instrumen — sejatinya tidak bisa dilepaskan dari fondasi teori-teori ini. Tanpa kerangka teoretis yang kuat, penilaian mudah terjebak pada penampakan semu: tertulis rapi di dokumen, tetapi tak tercermin dalam praktik nyata.
Pada hemat saya, dan ini belum ada dalam konsep yang dirancang BAN-PDM, para asesor juga perlu dibekali ilmu hermeneutika, yaitu kemampuan menafsir makna yang tersembunyi di balik kata, tindakan, atau dokumen. Friedrich Schleiermacher, seorang tokoh penting dalam hermeneutika modern, menjelaskan bahwa menafsir bukan sekadar membaca kata demi kata, tetapi memahami pikiran, perasaan, dan maksud pembicara atau penulis dalam konteks sosial-budayanya.
Bagi Schleiermacher, penafsiran selalu bergerak bolak-balik antara bagian dan keseluruhan, yang dikenal sebagai lingkaran hermeneutika. Inilah aspek yang tidak kalah penting bagi asesor PAUD (juga jenjang Dasmen), yang harus memahami setiap data—wawancara, observasi, dokumen—bukan sebagai potongan terpisah, melainkan sebagai bagian dari keseluruhan cerita tentang kinerja satuan pendidikan. Harapannya, seorang asesor yang dibekali kemampuan hermeneutis akan lebih peka membaca tanda-tanda atau pelbagai gejala kecil yang barangkali selama ini luput dari perhatian seperti: bahasa tubuh anak, nada suara guru, atau pola interaksi di kelas. Mereka dapat menangkap makna mendalam yang tidak selalu tersurat, tetapi justru menentukan mutu pembelajaran.
Akreditasi dan Tantangan Pencarian Makna
Dalam sesi refleksi yang dilakukan oleh para asesor PAUD di Provinsi DKI Jakarta, terungkap bahwa proses akreditasi yang ideal memang menuntut pendekatan interpretatif. Para asesor menyadari bahwa banyak praktik yang tidak cukup dinilai hanya dengan mencocokkan indikator. Asesor mengakui pentingnya wawasan teori yang kuat dan keterampilan menggali makna untuk memahami konteks satuan pendidikan secara utuh. Dalam refleksinya, mereka menyadari pentingnya menggunakan bahasa yang membumi dalam wawancara serta perlunya membaca ketidakhadiran praktik sebagai bentuk data yang bermakna. Namun banyak asesor mengakui masih merasa kesulitan di lapangan.
Setidaknya ada dua tantangan utama yang kerap mereka hadapi. Pertama, kesulitan menggali makna praktik nyata. Banyak satuan pendidikan mampu menunjukkan dokumen yang tampak rapi, namun belum tentu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Asesor sering kebingungan memastikan apakah kegiatan yang tertulis benar-benar dijalankan secara rutin, atau sekadar “tertulis indah di kertas.”
Kedua, tidak sedikit asesor mengaku kesulitan mensintesis data yang beragam. Data akreditasi datang dari banyak arah: dokumen, observasi, wawancara. Semua harus disusun menjadi kesimpulan yang utuh. Banyak asesor merasakan kendala menarik benang merah di antara potongan data yang kadang saling bertabrakan. Misalnya, dokumen menyatakan pembiasaan tanggung jawab berjalan baik, namun observasi memperlihatkan guru sibuk sendiri sementara anak-anak bermain tanpa diarahkan.
Yang jelas, paradigma akreditasi BAN-PDM menekankan bahwa makna lebih penting daripada angka. Tidak semua yang bisa dihitung itu penting, dan tidak semua yang penting bisa dihitung. Itulah sebabnya asesor PAUD dituntut menjadi profesional yang bukan hanya paham teori, tetapi juga lihai membaca konteks sosial, budaya, dan emosional di setiap satuan pendidikan. Mereka harus bisa membedakan antara praktik yang “sekadar terlihat bagus” dengan praktik yang benar-benar berdampak bagi tumbuh kembang anak.
Dari sini kita bisa bersepakat bahwa pada akhirnya, akreditasi PAUD yang baik bukanlah sekadar pelabelan “A” atau “B.” Ia harus menghasilkan refleksi dan perbaikan, agar setiap anak Indonesia tumbuh di lingkungan belajar yang aman, menyenangkan, dan memaksimalkan potensinya. Karena anak-anak kita bukanlah data di tabel akreditasi — mereka adalah manusia kecil dengan dunia besar yang menanti untuk dieksplorasi.
*Sekretaris BAN-PDM Provinsi DKI Jakarta