
Filosofi 'Cura Personalis' dalam Akreditasi SLB/MLB
05 Agustus 2025
Redaksi
Jakarta – Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah (BAN-PDM) menggelar Pelatihan Asesor SLB/MLB 2025 yang diikuti 144 asesor khusus SLB dari seluruh Indonesia. Acara yang berlangsung secara virtual melalui Zoom Meeting pada Kamis, 31 Juli 2025, ini menandai transformasi penting dalam proses akreditasi Sekolah/Madrasah Luar Biasa (SLB/MLB).
Ketua BAN-PDM Totok Suprayitno dalam sambutannya menekankan bahwa akreditasi SLB mulai tahun 2025 akan mengalami perubahan fundamental. "Ini adalah tonggak perubahan dan transformasi. Instrumen SLB telah mengalami beberapa perubahan dari yang lalu," ujar Totok.
Menurut Totok, perubahan ini melanjutkan paradigma baru yang sudah dimulai sejak tahun 2020, yaitu migrasi dari akreditasi berbasis administrative compliance (kepatuhan administrasi) menjadi akreditasi berbasis kinerja atau performance.
"Kita tidak lagi fokus pada ketaatan administratif, tetapi melihat apakah proses yang terjadi itu betul-betul substantif dan membawa manfaat pendidikan bagi anak-anak," ujarnya.
Ia menambahkan, instrumen baru dirancang lebih lentur dan tidak mendikte, sehingga asesor diharapkan berpikir terbuka dan tidak terpaku pada definisi baku. Asesor harus mencari bukti bahwa hal-hal baik yang tampak di sekolah memang benar-benar terjadi dan membawa kebaikan, bukan hanya sekadar pajangan.
"Proses ini adalah perubahan fundamental. Kami menyebutnya proses pencarian bukti wisdom atau kebijakan," tegas Totok, seraya menyampaikan penghormatan dan apresiasi tinggi kepada para guru, asesor, dan pejuang pendidikan SLB.
"Kehadiran kita tidak sekadar memberi stempel akreditasi, tapi juga memberikan kenangan dan manfaat berupa saran perbaikan berkelanjutan," tambahnya.
Filosofi Cura Personalis
Anggota BAN-PDM, C.B. Mulyatno, menjelaskan bahwa filosofi di balik akreditasi SLB yang baru adalah cura personalis atau personal care, yaitu pendampingan yang berciri interaktif, relasional, dan personal. "Pendampingan yang berdampak itu memiliki dasar filosofis cura personalis," katanya.
Mulyatno menekankan pentingnya empati bagi asesor. "Asesor datang sebagai pribadi yang menghargai kinerja dan perjuangan mereka (guru) untuk anak-anak bangsa," ujarnya.
Dalam proses akreditasi SLB, Mulyatno menjelaskan bahwa wawancara lebih banyak dilakukan dengan orang tua dan guru, tetapi jika bertemu murid, asesor harus menyapa dengan bahasa yang manusiawi.
Pentingnya pendekatan personal ini diperkuat oleh narasumber Swasto Imam Teguh Prabowo. Ia menjelaskan bahwa kehebatan sebuah sekolah bukan berarti tanpa masalah, melainkan bagaimana mereka menyikapinya. Asesor diharapkan dapat memahami kondisi nyata sekolah secara holistik, termasuk beragam karakteristik peserta didik.
"Niat baik saja tidak cukup, tetapi butuh kompetensi di dalamnya," ujar Swasto.
Ia menambahkan, salah satu implementasi cura personalis adalah melalui asesmen diagnostik yang membantu guru mengenal bakat dan kebutuhan unik setiap siswa. Oleh karena itu, penilaian terhadap lulusan tidak lagi berdasarkan skor numerik, melainkan pada pertumbuhan (growth) yang dicapai siswa dari baseline atau kemampuan awalnya.
"Jika sekolah dapat menunjukkan bukti-bukti empiris dan dokumen atas pertumbuhan ini, maka penilaiannya akan berujung pada kategori Baik atau Sangat Baik," ujar Swasto. Menurutnya, paradigma ini menunjukkan bahwa SLB harus mendukung pendidikan inklusif, bukan mempertajam segregasi. (redaksi ban-pdm)